Senin pagi itu, udara masih basah oleh sisa embun ketika istriku mengantarkanku menuju pool bus. Ada rasa berat yang tak terucap setiap kali dia mengantarku pergi tugas, seakan perjalanan singkat menuju pool itu adalah latihan kecil dari sebuah perpisahan panjang yang tak pernah benar-benar siap kami jalani.
Dengan sepeda motor, kami melaju dari rumah orang tuaku di Raman Utara. Angin pagi berhembus, dan aku melihat sesekali istriku menggenggam erat jaketku dari belakang—seolah takut aku menghilang begitu saja. Kami sempat singgah sebentar karena ada beberapa barang yang harus kupungut di tempat tugasnya, SRT 34 Lampung Tengah. Setiap menit terasa seperti detik, dan setiap detik penuh doa yang tak terucap.
Pukul 09.30 WIB, kami tiba di pool bus. Tak sampai lima menit, bus datang. Momen itu… selalu sama, tapi perihnya tak pernah berkurang. Aku naik bus menuju Jabung, dan istriku kembali ke Raman Utara. Sesederhana itu kami berpisah—tapi seolah separuh jiwa ditinggal di jalan yang penuh debu itu.
12.15 WIB – Persimpangan Pelalangan
Bus berhenti di persimpangan menuju rumahku di Jabung, Pelalangan. Aku turun dan menarik napas panjang sebelum menyalakan ponsel. Aku menghubungi beberapa rekan yang bisa menjemputku. Arifin, staf sekolah yang sudah seperti adik sendiri, datang dengan motor tuanya. Ia tersenyum sambil berkata, “Ayo pak, kita pulang…” Dan senyum sederhana itu terasa hangat di tengah rasa lelahku.
Di rumah, aku langsung menunaikan sholat Zuhur. Baru setelah itu aku keluar menemui Saiful, penjaga parkir motor di rumahku. Ia orang sederhana, tapi kesetiaannya menjaga rumahku tak bisa kuukur dengan apa pun. Kami mengobrol tentang perkembangan motor, kabar warga, dan apa saja yang luput selama aku tinggal di rumah ibuku.
Waktu berlalu tak terasa. Adzan Asar memotong perbincangan kami. Aku sholat di rumah sementara Saiful ke masjid.
Malam itu… Sepi Dingin yang Menggantung
Bahan makan malam Alhamdulillah masih ada: beberapa bungkus mie instan yang dititipkan istriku. Aku memasaknya sendiri. Rasanya? Entah… kadang mie instan bisa terasa seperti jamuan, ketika hati sedang kosong dan sepi.
Di rumah itu aku benar-benar sendiri. Dua anakku sekolah jauh di Pulau Jawa. Si bungsu tinggal bersama istriku dan mertuaku. Rumah itu terasa seperti sebuah kotak besar berisi bayangan masa lalu—tawa anak-anak, suara istriku, dan jejak-jejak kebersamaan yang kini tinggal di ingatan.
Karena tak ada teman bicara, aku menghubungi Saiful, berniat meminjam motor untuk silaturahmi ke kampung sebelah. Tak lama ia datang mengantar motor. Dan tiba-tiba, Edi Purwanto, rekanku, muncul hanya untuk mampir—katanya rindu cerita.
Setelah makan, kami berdua pergi menemui seorang guru spiritual. Di sana, kami meluruhkan isi dada. Tentang keluarga, beratnya hidup, luka yang tak pernah sembuh, dan harapan yang kadang terasa mustahil. Tanpa kami sadari, malam sudah sangat larut. Pukul 1 dini hari.
Kami pulang. Edi kembali ke Asahan, aku kembali ke rumahku di Adiluhur. Kami bertukar kendaraan karena motor Saiful kurang sehat, sementara jarak tempuhku lebih jauh.
Subuh – Tubuh Letih, Jiwa Lelah
Sampai di rumah, aku terlalu lelah untuk berganti pakaian. Aku hanya rebah di kursi dapur, membiarkan rasa capai menenggelamkan seluruh kesadaran.
Adzan Subuh membangunkanku. Badanku remuk, tapi aku bangun untuk wudhu dan sholat. Pagi itu dingin menggigit—aku tak mandi, hanya mengenakan jaket yang kupakai semalam.
Saat cahaya pagi mulai mengintip, aku keluar dengan motor milik Edi Purwanto. Tujuanku sederhana: beli telur untuk sarapan, teman makan mie instan. Dan rokok untuk menenangkan kepala yang penuh beban.
Namun warung tetangga kehabisan telur. Aku pulang hanya membawa rokok, sedikit kecewa tapi memaklumi.
Detik Kecil yang Hampir Mengubah Segalanya
Pagi itu sebetulnya biasa saja. Jalan masih lengang, embun masih menggantung di daun pisang, dan udara dingin menusuk dari sela-sela jaketku. Aku memacu sepeda motor milik Edi Purwanto agak kencang, hanya ingin segera kembali dan memasak mie instan yang tadi gagal ku lengkapi dengan telur.
Semua tampak tenang…
sampai seekor kucing tiba-tiba melompat menyeberang dari balik semak.
Semuanya terjadi begitu cepat.
Motor ku buang ke kanan, tapi pijakan ban justru meleset.
Stang terpental.
Badanku terlempar.
Dan dalam sekejap—
Aku berguling.
Bukan satu kali.
Bukan dua kali.
Sekitar sepuluh kali tubuhku menghantam aspal, seperti bola yang kehilangan arah.
Sementara motor yang tadi kukendarai meluncur liar sekitar 20 meter, bergesek dengan jalan, menimbulkan suara panjang yang pedih didengar, seperti jeritan logam yang putus asa.
Ketika aku akhirnya berhenti, dunia terasa berputar. Pandangan kabur. Ujung jaket robek. Bau aspal memenuhi hidung. Lututku perih seperti tersiram api. Engkel kiriku berdenyut luar biasa, terasa panas—seperti ditarik paksa.
Aku mencoba bangun.
Tapi tubuhku tidak mau.
Pertolongan yang Datang di Ujung Sadar
Ketika kesadaranku mulai kembali, samar-samar aku melihat seseorang berlari mendekat. Itu Aji, warga yang tinggal tak jauh dari lokasi kejadian.
Ia memegang pundakku, suaranya panik namun tetap menenangkanku.
“Bang, bang… sadar bang? Sakit di mana?”
Dengan napas terputus-putus, aku hanya bisa berkata pelan:
“Ji… tolong… urus kucingnya dulu.”
Entah bagaimana, di tengah rasa sakit yang menyayat dan tubuh yang nyaris tak bisa digerakkan, yang aku pikirkan justru makhluk kecil yang menyebabkan kecelakaan itu. Bukan marah, bukan kesal—tapi khawatir.
Aji mengangguk cepat, lalu memastikan kucing itu dalam keadaan selamat sebelum kembali memapahku.
Pelan-pelan ia membantu menegakkan tubuhku, karena aku tidak bisa bangun sendiri. Dua dengkulku penuh luka lecet dan darah merembes perlahan. Engkel kiriku membengkak cepat, warnanya mulai berubah, tanda jelas kalau pergelangan itu terkilir cukup parah.
Pertolongan dari Bidan Kampung
Beruntung, istri Aji adalah seorang Bidan Kampung. Ia segera mengambil perlengkapan P3K dan membersihkan lukaku dengan cekatan.
Ada perih yang menyambar ketika cairan antiseptik menyentuh kulitku. Tapi yang lebih perih justru perasaan—perasaan bahwa aku menjalani semua ini sendirian, jauh dari istriku, jauh dari keluargaku.
Bidan itu mengoleskan salep, membalut engkelku, dan meminta aku istirahat.
Beliau berkata pelan, namun tegas:
“Ini terkilir cukup berat. Jangan dipaksa jalan jauh dulu.”
Aku mengangguk. Dalam hatiku hanya ada satu hal: pulang.
Pukul 08.00 WIB – Kabar yang Tak Kuinginkan Menyakitinya
Selasa pagi, sekitar pukul delapan, aku akhirnya menekan tombol telepon. Istriku sedang bekerja, aku tahu itu. Bahkan sebelum telepon tersambung, aku sudah bisa menebak: dia pasti sibuk, sangat sibuk—bahkan mungkin tak punya ruang napas untuk hal-hal yang tiba-tiba.
Ketika suaranya terdengar, aku langsung merasakan getaran kecil di dadaku.
“Assalamu’alaikum, Bang… sudah sampai sekolah?”
Aku menarik napas pelan.
“Belum… Aku jatuh kemarin.”
Sesaat sunyi.
Sunyi yang memotong jantungku.
Lalu suaranya pecah tipis, bukan menangis, tapi mencampurkan kaget, khawatir, dan bingung dalam satu tarikan napas.
“Jatuh? Jatuh gimana? Kok abang nggak bilang? Luka serius? Ya Allah Bang…”
Aku buru-buru menenangkan.
“Nggak apa-apa… abang cuma luka-luka. Engkel terkilir.”
Dia tak langsung marah, tak langsung menyalahkan.
Hanya diam… tapi diam yang penuh rasa.
Aku tahu ia sedang memproses semuanya.
Ia di tempat kerja.
Ia di bawah tekanan orang tuanya.
Ia tak bisa bergerak sesuka hatinya.
Dan aku tahu… meski dia ingin datang, bukan berarti dia mampu.
Hari-Hari yang Sunyi dan Menuntut Kuat
Selasa pagi hingga Kamis siang adalah hari-hari yang terasa jauh lebih panjang daripada biasanya. Luka di dua dengkul masih menganga, perban mulai mengeras, dan engkel kiri yang keseleo membuat setiap langkah seperti ditarik dari urat terdalam.
Aku bangun dengan rasa nyeri yang berdenyut pelan tapi pasti. Rasanya seperti kaki memprotes setiap kali diturunkan ke lantai. Namun aku tak punya pilihan.
Aku harus menjalani semuanya sendiri.
Dengan sebuah tongkat penyangga kaki—alat sederhana tapi terasa seperti sahabat baru—aku menavigasi hari-hari itu. Setiap aktivitas yang biasanya mudah berubah menjadi perjuangan:
1. Bangun dari tempat tidur
Sebelumnya hanya butuh satu tarikan napas.
Sekarang butuh satu tekad kecil dan keberanian menahan sakit.
2. Berdiri
Tongkat itu menjadi kaki tambahan, menopang sisi tubuh yang tidak bisa kubebani. Aku menunduk setiap kali bangun, memastikan engkel kiri tidak tersentak.
3. Berjalan ke kamar mandi
Jarak lima meter terasa seperti lima puluh.
Dinding menjadi tempat bersandar, meja menjadi pegangan, dan tongkat menjadi perpanjangan kehendak untuk tetap bergerak.
4. Memasak sarapan seadanya
Mie instan dari istri yang kubawa hari Senin masih ada beberapa. Dan aku memasak sambil berdiri miring, menahan rasa ngilu di engkel kiri setiap kali harus memindahkan berat tubuh.
Kadang aku berhenti sejenak, menunduk, menarik napas panjang, lalu melanjutkan lagi.
Rumah itu…
yang biasanya hanya sepi, kini terasa ikut mengawasiku.
Seperti ikut merasakan bahwa aku sedang bertahan sendiri, bahwa setiap gerakan adalah perjuangan kecil yang tak ada saksi.
Tidak Ada yang Tahu Betapa Sakitnya—Kecuali Tuhan
Tidak ada yang melihat bagaimana aku duduk pelan sambil menahan napas.
Tidak ada yang melihat bagaimana aku menarik kaki kiri dengan kedua tangan untuk menaikkannya ke kursi.
Tidak ada yang tahu bagaimana aku terdiam setiap kali denyut nyeri datang bergelombang.
Namun aku tetap melanjutkan hari.
Karena tugas menunggu.
Karena rumah harus dihidupkan.
Karena tidak ada yang bisa menggantikan peranku selain diriku sendiri.
Empati dari Jauh yang Tetap Menghangatkan
Istriku, meski tidak bisa datang karena pekerjaan dan tekanan yang sedang dialaminya, tetap memberi perhatian dengan caranya sendiri. Pesannya datang beberapa kali:
“Abang sudah makan?”
“Obatnya dipakai ya… jangan bandel.”
“Kalau sakit banget bilang.”
Sesekali ia menelpon, suaranya letih tapi tetap berusaha hangat. Di sela kesibukannya, ia mencoba hadir, meski tidak secara fisik.
Dan aku menyadari satu hal:
Kadang orang ingin hadir, tapi keadaan tidak mengizinkan.
Kadang mereka tidak bisa datang, tapi doa mereka sampai lebih dulu.
Rabu – Rasa Sakit Mulai Mengubah Cara Pandangku
Rabu pagi, saat aku berjalan terseok dengan tongkat menuju dapur, aku tiba-tiba berhenti. Ada rasa aneh yang muncul: campuran antara sedih, kuat, dan… entah apa.
Aku sadar bahwa luka fisik kadang lebih mudah sembuh dibanding luka mental—kesepian, kerinduan, dan beratnya menjalani sesuatu sendirian.
Tapi aku juga sadar, tiga hari ini membuktikan sesuatu:
Aku bisa bertahan.
Aku bisa berdiri.
Aku bisa melangkah—meski dengan tongkat.
Dan itu adalah bentuk kekuatan yang tidak pernah kusadari sebelumnya.
Bahagia yang Patah di Ujung Pintu
Kamis siang, ketika matahari mulai condong ke barat dan nyeri di kaki kiriku sedikit mereda, suara motor berhenti di depan rumah membuatku menoleh pelan. Dan di sana… berdiri seseorang yang selama tiga hari ini hanya bisa kudengar lewat telepon:
istriku.
Ada sesuatu yang langsung tumpah di dadaku—semacam hangat yang menutupi semua rasa sakit. Kehadirannya saja sudah cukup membuat rumah itu seperti hidup kembali. Sungguh, melihat wajahnya setelah tiga hari bertahan sendiri rasanya seperti menemukan udara segar setelah lama tenggelam.
Ia masuk sambil membawa bungkusan makanan dan beberapa perlengkapan kecil. Mata kami sempat saling menatap, dan ada rindu yang terselip di dalamnya—rindu yang tidak pernah sempat kami urus dengan benar karena kesibukan, tekanan, dan jarak yang selalu muncul di antara kami.
Tapi kebahagiaan itu…
tidak berlangsung lama.
Kunjungan Singkat
Ia duduk di depanku, melihat kaki kiriku yang dibalut perban.
Ekspresinya berubah lembut, sedikit sedih.
“Bang… maaf ya… Abang sakit begini tapi aku nggak bisa banyak bantu.”
Kalimat itu saja sudah membuat dadaku sesak.
Bukan karena kecewa, tapi karena aku tahu ia sedang sungguh-sungguh merasa bersalah.
Namun hanya beberapa menit setelah kehangatan itu muncul, ia berkata dengan suara pelan:
“Aku nggak bisa lama, Bang… nanti malam ada Yasinan di rumah orang tua.”
Hatiku runtuh sedikit.
Aku berharap lebih.
Setidaknya satu malam.
Setidaknya aku tidak sendirian malam ini.
Setidaknya ada waktu jeda dua hari sebelum ia berangkat workshop ke Bandung—waktu yang sebenarnya bisa menjadi kesempatan untuk kami bernafas bersama.
Tapi realitas sering tidak berpihak pada keinginan.
Ia terikat kewajiban.
Ia terikat keluarga.
Ia terikat pekerjaan.
Dan aku?
Aku hanya ingin ditemani… barang satu malam.
Debat Kecil yang Tak Bisa Dihindari
Ketika kubilang aku ingin dia tinggal semalam di rumah Jabung, wajahnya menegang. Bukan marah, hanya sulit.
“Bang… aku nggak bisa. Malam ini Yasinan, Bang. Orang tua sudah menunggu.”
“Ibuku juga menunggu aku sembuh,” kataku, setengah bercanda, setengah memohon.
Tapi tidak ada yang lucu dari situasi itu.
Debat kecil terjadi.
Bukan suara tinggi, bukan amarah—hanya tarik ulur perasaan antara dua orang yang sama-sama lelah.
Akhirnya, seperti biasa…
Aku yang harus mengalah.
Bukan karena aku kalah,
tapi karena aku mencintainya.
Kalimat terakhir yang membuat aku menyerah adalah:
“Bang… ikut pulang ke Raman. Nanti setelah Yasinan, aku tidur di rumah orang tuamu. Yang penting abang nggak sendirian.”
Aku mengangguk.
Meski di dalam hati, ada sedikit bagian yang patah.
Aku ingin ditemani di rumah kami sendiri,
di tempat sakitku terjadi,
di ruang yang selama tiga hari ini menjadi saksi perjalananku menghadapi rasa perih sendirian.
Tapi keinginan itu harus kusimpan.
Karena aku tahu:
dalam hidup ini, tidak semua harapan bisa dipaksakan.
Dan kadang…
mengalah adalah cara paling sunyi untuk mencintai.
Pulang yang Sepi, Tapi Tidak Sendiri
Kami pulang ke Raman.
Istriku mengikuti agenda Yasinan lebih dulu, aku menunggu dengan kaki yang terasa berat.
Dan benar, setelah acara selesai, ia datang ke rumah orang tuaku dan menginap di sana.
Tidak seperti yang kuharapkan,
tidak seperti yang kubayangkan,
tapi cukup untuk membuat malam itu tidak sepenuhnya sepi.
Ketika aku melihatnya tidur di kasur orang tuaku, aku baru sadar:
Kadang cinta hadir bukan dengan cara yang kita mau,
tapi dengan cara yang orang itu mampu.
Dan malam itu…
meski tidak sempurna, meski tidak seperti harapan…
aku tetap merasa sedikit lebih tenang.
Karena ia akhirnya ada di dekatku.
Meskipun hanya sebentar.
Meskipun dengan banyak batasan.
Dan tibalah Jumat pagi.
Pagi itu ia datang lebih lembut daripada hari-hari sebelumnya. Ia menyiapkan sarapan untuk kami bertiga—untuk Ibu, untukku, dan untuk anak bungsuku. Ada kehangatan yang hampir membuatku lupa bahwa kami baru saja melewati hari yang menguras emosi.
Selesai sarapan, ia pamit pulang ke rumah orang tuanya. Ia berkata ingin mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke Bandung.
Sebelum pergi, ia berkata:
“Nanti abang aku jemput sini ya. Ikut antar aku ke bandara. Jam 10 pagi abang harus sudah siap.”
Meski kakiku masih sakit, meski untuk berjalan pun aku harus bertumpu pada tongkat, aku menjawab dengan antusias:
“Siap, aku tunggu. Aku antar.”
Ada semangat kecil di dalam diriku. Mungkin karena merasa dibutuhkan. Mungkin karena itu bentuk kesempatanku untuk ada di sisinya setelah beberapa hari ia sulit menemani.
Namun… entah apa yang terjadi setelah itu.
Menjelang pukul sepuluh, pesan WA masuk. Pendek. Dingin. Tidak seperti biasanya.
Hanya kalimat:
“Kita cukupkan hubungan sampai di sini ya, Abang.”
Seketika napasku seperti berhenti. Tanganku gemetar. Kepalaku kosong.
Detik setelah pesan itu masuk, nomor WA-ku langsung tidak bisa menghubunginya lagi.
Diblokir.
Tanpa penjelasan.
Tanpa ruang bicara.
Tanpa kesempatan untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Hari Jumat itu berubah menjadi hari paling keramat dalam hidupku—bukan karena perpisahan yang terucap, tetapi karena cara segalanya berhenti tanpa tanda apa pun.
Di rumah, Ibu hanya bisa menatapku lama, mencoba membaca luka yang lebih dalam dari sekadar keseleo di kaki kiriku.
Dan aku… hanya duduk diam sambil menatap layar yang tak lagi memunculkan tanda centang biru darinya.
Luka fisikku masih terasa pedih.
Tapi luka yang itu… jauh lebih menghantam.
SELESAI.