Menjadi istri kedua bukanlah pilihan mudah, apalagi ketika kehadiran kita ditolak mentah-mentah oleh istri pertama. Itulah yang dirasakan Lestari (35), seorang janda satu anak, saat menerima pinangan Fikri—lelaki baik hati yang sudah lebih dulu berkeluarga. Niatnya untuk memulai hidup baru justru membawanya pada ujian terbesar: diterima oleh keluarga yang sudah lebih dulu berdiri, terutama oleh istri pertama, Nurhayati.
Awal yang Berat dan Penuh Luka
Lestari tidak berniat merebut atau merusak rumah tangga orang. Ia menerima lamaran Fikri karena diyakinkan bahwa semua dilakukan secara terbuka dan sesuai syariat. Namun kenyataannya tak seindah yang dibayangkan.
“Tahun pertama adalah tahun paling menyakitkan dalam hidup saya,” ujar Lestari pelan. “Saya tidak pernah dimaki secara langsung, tapi tatapan itu… seolah saya tak punya harga diri.”
Nurhayati, istri pertama, merasa dikhianati. Ia menolak menjalin hubungan baik. Bahkan, kehadiran Lestari dianggap sebagai bentuk pengkhianatan dan ancaman terhadap martabatnya sebagai istri utama.
Setiap kali Lestari mencoba menyapa, membangun komunikasi, atau bahkan sekadar mengucap salam, Nurhayati menolak. Tidak ada sapaan, tidak ada pertemuan yang hangat, hanya dinding dingin dan jarak yang makin terasa.
Bertahan Tanpa Membalas
Alih-alih membalas dingin dengan dingin, Lestari memilih bersabar. Ia tak pernah mengadu pada suami. Ia memilih menanggung semuanya dalam diam, menyibukkan diri dengan mengurus rumah dan anak tirinya yang mulai dekat dengannya.
“Aku tahu, aku bukan siapa-siapa di matanya. Tapi aku juga bukan penjahat. Aku hanya ingin dicintai, bukan merebut. Itu yang selalu aku katakan pada diriku sendiri.”
Ia tetap mengirim makanan ke rumah Nurhayati, tetap menitip salam, tetap hadir dalam momen keluarga walau hanya duduk di sudut. Ia tidak pernah menyerah, walau berkali-kali diabaikan.
Pintu yang Akhirnya Terbuka
Waktu berjalan. Suatu hari, Nurhayati jatuh sakit. Anak-anak sedang di luar kota, dan hanya Lestari yang bisa mendampingi. Meski awalnya ditolak, Lestari bersikeras datang membawa makanan dan obat.
“Aku tidak bicara banyak. Aku hanya bilang, ‘Biar saya saja yang bantu. Saya tidak akan ganggu.’ Dia tidak menjawab, tapi juga tidak menolak lagi.”
Dari situ, tembok itu mulai retak. Sedikit demi sedikit, komunikasi mulai terbuka. Nurhayati mulai mengizinkan Lestari masuk ke lingkaran kecil keluarganya, meski masih dengan syarat-syarat ketat. Tidak ada kata maaf, tapi ada perubahan sikap. Dan bagi Lestari, itu cukup.
Dari Lawan Menjadi Kawan
Tahun ketiga, hubungan mereka mulai membaik. Mereka tak langsung menjadi sahabat, tapi mulai saling memahami. Kini, mereka bisa berbincang, memasak bersama di acara keluarga, bahkan saling menitipkan anak.
“Aku tidak pernah berniat merebut. Dan akhirnya, dia melihat itu sendiri. Itu yang aku syukuri,” kata Lestari dengan mata berkaca.
Penutup: Keteguhan Hati Seorang Perempuan
Kisah Lestari adalah cerita tentang keteguhan hati seorang perempuan yang ingin dicintai tanpa harus menyakiti. Ia tak datang untuk menang, tak berniat menjadi yang utama, dan tak ingin menghapus keberadaan siapa pun. Ia hanya ingin diterima, dengan caranya sendiri: diam, sabar, dan tulus.
Perjuangan menjadi istri kedua bukan soal status, tapi soal bagaimana tetap manusiawi dalam kondisi yang rentan menyulut luka. Dan Lestari, dengan segala luka dan kesabarannya, membuktikan bahwa cinta yang tulus tak perlu merebut. Ia hanya perlu waktu, dan niat yang benar.