Atas rahmat Allah, alhamdulillah, para aktifis dakwah dan tarbiyah kini sedang menapaki Mihwar Muasassi. Dalam bahasa kita, mihwar muassasi dapatlah disepadankan maknanya dengan kalimat ‘poros pelembagaaan’, dimana kader dakwah mulai masuk ke dalam lembaga publik, baik di parlemen, birokrasi maupun lembaga-lembaga profesi lainnya. Bekerja di mihwar muassasi ini seakan-akan sedang bekerja di awal mihwar selanjutnya (yaitu mihwar daulah), karena mihwar muasassi adalah muqaddimah dari mihwar daulah[1]. Namun demikian, kita harus tetap disiplin; bahwa mihwar muassasi bukanlah mihwar daulah.
Di mihwar ini, para da’i dituntut melakukan mobilitas vertikal (mengisi posisi struktural) dan melakukan penetrasi ke dalam lembaga-lembaga publik, berkontribusi dalam lembaga-lembaga publik tersebut dengan menampakkan integritas moral sekaligus kualitas professional dan kepakarannya. Katakunci di mihwar ini adalah kepakaran dan spesialisasi. Misi utama di mihwar ini adalah untuk mempengaruhi, menerjemahkan, atau merumuskan konsep dan nilai-nilai islam ke dalam kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan lembaga-lembaga tersebut.[2]
Mobilitas vertikal saja tidak cukup kan? Lalu bagaimana dengan mobilitas horizontal?
Betul sekali. Kita tidak menginginkan dakwah yang keropos. Kuat secara vertikal, namun tidak membumi. Ibarat sebuah pohon, batang dan dahannya menjulang tinggi ke atas yang tidak didukung akar yang kuat, tidak tahan menghadapi terjangan angin sekalipun. Pohon seperti itu boro-boro memberikan buah kepada makhluk yang lain, untuk bisa berdiri kokoh menahan terjangan angin pun ia tidak akan sanggup. Artinya dakwah juga mesti kuat secara horizontal.
Lalu bagaimana?
Pengokohan secara horizontal sebetulnya sudah dimulai sejak jauh hari sebelum memasuki mihwar muassasi, terutama ketika para da’i memasuki mihwar sya’bi. Di mihwar sya’bi, para da’i mulai mengalirkan energinya untuk kepentingan masyarakat secara umum; melalui gerakan amar makruf nahyi munkar, yakni layanan dalam berbagai bidang kehidupan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan berbagai kegiatan lainnya. Katakunci dalam mihwar sya’bi ini adalah pelayanan.
Itu bagus, tapi rasanya tidak cukup.
Benar. Memang belum cukup
Tapi kan mihwar sya’bi sudah terlewati? Apakah para da’i harus mundur ke mihwar sya’bi lagi?
Tidak seperti itu juga lah. Capaian-capaian dakwah di mihwar sya’bi (dengan segala kekurangan dan kelebihannya yang ada) sudah cukup untuk menghantarkan dan melandasi dakwah ini dalam memasuki mihwar muassasi. Namun perlu dicatat; dimasukinya mihwar muassasi, bukan berarti para da’i dengan serta merta meninggalkan pekerjaan-pekerjaan di mihwar-mihwar sebelumnya.
Jadi, ketika memasuki mihwar baru, artinya pekerjaan da’i justru bertambah (bukan berpindah); yaitu menyempurnakan pekerjaan-pekerjaan mihwar sebelumnya + memulai melakukan pekerjaan-pekerjaan mihwar yang sedang ditapaki?
Betul. Dimasukinya mihwar muassasi, bukan berarti para da’i berhenti dari melakukan dan meningkatkan kerjanya semasa di mihwar sebelumnya (yaitu mihwar sya’bi dan mihwar ta’sis). Lagipula karakter pencapaian marhalah dakwah tidak rigid, tidak organik, tidak instan. Tidak bersifat diskrit tapi kontinyu.
Oke-oke, saya paham pembicaraan kita sampai tahap ini. Tapi sebenarnya apa yang hendak Anda maksud dibalik semua pembicaraan ini?
Sederhana saja sebetulnya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa pekerjaan di wihwar muassasi bukan hanya mobilitas vertikal saja. Jadi pekerjaan dakwah di mihwar ini bukan hanya pilkada dan pemilu legislatif saja. Bukan hanya bagaimana merekrut partisipan dan suara pendukung dakwah sebanyak-banyaknya saja. Itu tadi semua sangat penting. Namun yang tidak kalah pentingnya juga adalah menyempurnakan pekerjaaan-pekerjaaan yang telah dilakukan dakwah di mihwar-mihwar sebelumnya.
Misalnya? Kasih saya contoh satu saja dulu.
Saya ambil contoh salah satu terkait dengan mihwar sya’bi.
Hasil dari mihwar sya’bi diantaranya bisa kita lihat dengan bermunculannya rumahsakit-rumahsakit islam, sekolah-sekolah, BMT dan bank syariah, yayasan dan lembaga sosial. Sebagiannya menjadi trend setter bahkan menjadi leader di bidangnya. Alhamdulillah. Nah, kondisi ini jangan dianggap sebagai hasil akhir. Justru harus kita anggap sebagai modal, sehingga ada proses penyempurnaan mobilitas horizontal.
Kalau dulu para da’i sudah merasa cukup dengan memiliki dan mendirikan lembaga sosial, menyelenggarakan baksos, melakukan pencerdasan masyarakat melalui seminar dan pelatihan-pelatihan, kini itu semua harus lebih ditingkatkan. Banyak yang perlu ditingkatkan. Mulai dari kualitas lembaganya, kualitas kegiatannya serta yang lebih pentingnya lagi adalah paradigma pelayanannya itu sendiri. Misalnya kalau dulu NGO[3] yang kita miliki hanya melakukan kegiatan yang sifatnya charity saja, kini perlu ditingkatkan lagi. Kita lengkapi dengan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat misalnya. Lagipula da’i kan bukan sinterklas.
Kalau dulu landasan para da’i bekerja di NGO lantaran ‘tuntutan murabbi’ atau yang penting ‘salju’ (asal maju), maka kini para da’i perlu meningkatkan motivasi pengelolaan lembaganya secara lebih baik lagi. Misalnya dengan mengintegrasikan tata kelola lembaga dan programnya ke dalam bagian pembangunan masyarakat secara keseluruhan.
Atau, kalau dulu, para da’i mengelola lembaganya dengan mengandalkan sumber daya sekedarnya, maka kini, para da’i harus berani mengeksplorasi semua sumber daya, termasuk sumber daya dari pemerintah.
Saya lihat sekarang, lembaga-lembaga yang dikelola para da’i sudah mengarah ke arah situ. Bahkan NGO dan lembaga-lembaga sosial yang didirikan para da’i makin banyak. Merekapun mulai berani mengakses berbagai sumber daya termasuk sumberdaya dari pemerintah.
Alhamdulillah, kalau memang begitu adanya. Tapi masih harus ditingkatkan. Dan yang penting adalah dilakukan secara sadar dan terencana. Bukan by accident atau kebetulan. Bukan pula karena aji mumpung.
Tapi saya malah khawatir, jangan-jangan para da’i jadi tidak ikhlas lagi dalam berdakwah!
Kalau tarbiyahnya bagus, aqidah dan fikrohnya lurus serta selalu berada dalam orbit dakwah dan tarbiyah itu sendiri, saya yakin, da’i itu tidak akan berbelok keikhlasannya, bahkan ia akan sanggup mewarnai lingkungannya. Saya malah lebih percaya; justru di tangan para da’i yang mukhlis, dana-dana publik ini akan dapat lebih tersalurkan sesuai haknya dan lebih terasa manfaatnya oleh masyarakat.
Hanya saja satu hal yang perlu diperhatikan, para da’i harus meningkatkan pengetahuannya terkait pengelolaan dana-dana publik, agar tidak menyalahi prosedur formal.
Apa rambu-rambu bagi lembaga-lembaga da’i yang mengelola dana-dana publik seperti itu supaya tidak terjerumus dan melenceng dari asholah dakwah ?
Rambu-rambunya banyak. Nanti kita diskusikan dalam sesi khusus. Tapi salah satunya yang perlu diketahui sekarang adalah; hindarilah menjadi ‘lembaga proyek-an‘ yang hanya sekedar mencairkan proyek tanpa dibarengi dengan kualitas program yang baik bagi masyarakat. Untuk hal ini, berarti dituntut institutional building yang bagus serta capacity building yang baik bagi para pengelola lembaganya.
Bagaiman caranya?
insyaAllah kita akan perdalam di sesi depan.
Wadduh, jadi penasaran. Tapi sekarang saya jadi tersadarkan dalam satu hal: ternyata dalam memasuki mihwar yang baru ini, kita masih punya PR ya?
Ibarat di sekolahan, jika PR diabaikan, bahkan tidak dikerjakan, apa yang akan terjadi?
Biasanya sang murid akan kena hukum dari Gurunya
Lebih parahnya, murid yang mengabaikan, bahkan tidak menyelesaikan PR nya, biasanya murid seperti ini akan terhambat sekolahnya. Ia akan lamban dalam memahami pelajaran-pelajaran. Apalagi dalam menghadapi ujian, ia akan kesulitan menyelesaikan soal-soal ujian tersebut. Alih-alih lulus sekolah bernilai bagus, seringkali murid seperti ini malah tidak naik kelas.
Apatah lagi dengan dakwah. Apa yang terjadi jika PR dakwah diabaikan atau tidak segera diselesaikan? [] ** selesai sesi satu, berlanjut ke sesi dua ***
[1] Lihat taujih “Dua Tuntutan Mihwar Muassasi” oleh Ust. Hilmi Aminuddin, Lc (MDI Al Intima’ ed no. 015/2011)
[2] Untuk memahami lebih dalam tentang mihwar dakwah, silahkan baca “Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera, MPP PKS tahun 2007 (tepatnya dalam BAB 2 tentang PARADIGMA)
[3] NGO (Non Governmental Organization/Organisasi Non Pemerintah) = LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Di mihwar ini, para da’i dituntut melakukan mobilitas vertikal (mengisi posisi struktural) dan melakukan penetrasi ke dalam lembaga-lembaga publik, berkontribusi dalam lembaga-lembaga publik tersebut dengan menampakkan integritas moral sekaligus kualitas professional dan kepakarannya. Katakunci di mihwar ini adalah kepakaran dan spesialisasi. Misi utama di mihwar ini adalah untuk mempengaruhi, menerjemahkan, atau merumuskan konsep dan nilai-nilai islam ke dalam kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan lembaga-lembaga tersebut.[2]
Mobilitas vertikal saja tidak cukup kan? Lalu bagaimana dengan mobilitas horizontal?
Betul sekali. Kita tidak menginginkan dakwah yang keropos. Kuat secara vertikal, namun tidak membumi. Ibarat sebuah pohon, batang dan dahannya menjulang tinggi ke atas yang tidak didukung akar yang kuat, tidak tahan menghadapi terjangan angin sekalipun. Pohon seperti itu boro-boro memberikan buah kepada makhluk yang lain, untuk bisa berdiri kokoh menahan terjangan angin pun ia tidak akan sanggup. Artinya dakwah juga mesti kuat secara horizontal.
Lalu bagaimana?
Pengokohan secara horizontal sebetulnya sudah dimulai sejak jauh hari sebelum memasuki mihwar muassasi, terutama ketika para da’i memasuki mihwar sya’bi. Di mihwar sya’bi, para da’i mulai mengalirkan energinya untuk kepentingan masyarakat secara umum; melalui gerakan amar makruf nahyi munkar, yakni layanan dalam berbagai bidang kehidupan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan berbagai kegiatan lainnya. Katakunci dalam mihwar sya’bi ini adalah pelayanan.
Itu bagus, tapi rasanya tidak cukup.
Benar. Memang belum cukup
Tapi kan mihwar sya’bi sudah terlewati? Apakah para da’i harus mundur ke mihwar sya’bi lagi?
Tidak seperti itu juga lah. Capaian-capaian dakwah di mihwar sya’bi (dengan segala kekurangan dan kelebihannya yang ada) sudah cukup untuk menghantarkan dan melandasi dakwah ini dalam memasuki mihwar muassasi. Namun perlu dicatat; dimasukinya mihwar muassasi, bukan berarti para da’i dengan serta merta meninggalkan pekerjaan-pekerjaan di mihwar-mihwar sebelumnya.
Jadi, ketika memasuki mihwar baru, artinya pekerjaan da’i justru bertambah (bukan berpindah); yaitu menyempurnakan pekerjaan-pekerjaan mihwar sebelumnya + memulai melakukan pekerjaan-pekerjaan mihwar yang sedang ditapaki?
Betul. Dimasukinya mihwar muassasi, bukan berarti para da’i berhenti dari melakukan dan meningkatkan kerjanya semasa di mihwar sebelumnya (yaitu mihwar sya’bi dan mihwar ta’sis). Lagipula karakter pencapaian marhalah dakwah tidak rigid, tidak organik, tidak instan. Tidak bersifat diskrit tapi kontinyu.
Oke-oke, saya paham pembicaraan kita sampai tahap ini. Tapi sebenarnya apa yang hendak Anda maksud dibalik semua pembicaraan ini?
Sederhana saja sebetulnya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa pekerjaan di wihwar muassasi bukan hanya mobilitas vertikal saja. Jadi pekerjaan dakwah di mihwar ini bukan hanya pilkada dan pemilu legislatif saja. Bukan hanya bagaimana merekrut partisipan dan suara pendukung dakwah sebanyak-banyaknya saja. Itu tadi semua sangat penting. Namun yang tidak kalah pentingnya juga adalah menyempurnakan pekerjaaan-pekerjaaan yang telah dilakukan dakwah di mihwar-mihwar sebelumnya.
Misalnya? Kasih saya contoh satu saja dulu.
Saya ambil contoh salah satu terkait dengan mihwar sya’bi.
Hasil dari mihwar sya’bi diantaranya bisa kita lihat dengan bermunculannya rumahsakit-rumahsakit islam, sekolah-sekolah, BMT dan bank syariah, yayasan dan lembaga sosial. Sebagiannya menjadi trend setter bahkan menjadi leader di bidangnya. Alhamdulillah. Nah, kondisi ini jangan dianggap sebagai hasil akhir. Justru harus kita anggap sebagai modal, sehingga ada proses penyempurnaan mobilitas horizontal.
Kalau dulu para da’i sudah merasa cukup dengan memiliki dan mendirikan lembaga sosial, menyelenggarakan baksos, melakukan pencerdasan masyarakat melalui seminar dan pelatihan-pelatihan, kini itu semua harus lebih ditingkatkan. Banyak yang perlu ditingkatkan. Mulai dari kualitas lembaganya, kualitas kegiatannya serta yang lebih pentingnya lagi adalah paradigma pelayanannya itu sendiri. Misalnya kalau dulu NGO[3] yang kita miliki hanya melakukan kegiatan yang sifatnya charity saja, kini perlu ditingkatkan lagi. Kita lengkapi dengan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat misalnya. Lagipula da’i kan bukan sinterklas.
Kalau dulu landasan para da’i bekerja di NGO lantaran ‘tuntutan murabbi’ atau yang penting ‘salju’ (asal maju), maka kini para da’i perlu meningkatkan motivasi pengelolaan lembaganya secara lebih baik lagi. Misalnya dengan mengintegrasikan tata kelola lembaga dan programnya ke dalam bagian pembangunan masyarakat secara keseluruhan.
Atau, kalau dulu, para da’i mengelola lembaganya dengan mengandalkan sumber daya sekedarnya, maka kini, para da’i harus berani mengeksplorasi semua sumber daya, termasuk sumber daya dari pemerintah.
Saya lihat sekarang, lembaga-lembaga yang dikelola para da’i sudah mengarah ke arah situ. Bahkan NGO dan lembaga-lembaga sosial yang didirikan para da’i makin banyak. Merekapun mulai berani mengakses berbagai sumber daya termasuk sumberdaya dari pemerintah.
Alhamdulillah, kalau memang begitu adanya. Tapi masih harus ditingkatkan. Dan yang penting adalah dilakukan secara sadar dan terencana. Bukan by accident atau kebetulan. Bukan pula karena aji mumpung.
Tapi saya malah khawatir, jangan-jangan para da’i jadi tidak ikhlas lagi dalam berdakwah!
Kalau tarbiyahnya bagus, aqidah dan fikrohnya lurus serta selalu berada dalam orbit dakwah dan tarbiyah itu sendiri, saya yakin, da’i itu tidak akan berbelok keikhlasannya, bahkan ia akan sanggup mewarnai lingkungannya. Saya malah lebih percaya; justru di tangan para da’i yang mukhlis, dana-dana publik ini akan dapat lebih tersalurkan sesuai haknya dan lebih terasa manfaatnya oleh masyarakat.
Hanya saja satu hal yang perlu diperhatikan, para da’i harus meningkatkan pengetahuannya terkait pengelolaan dana-dana publik, agar tidak menyalahi prosedur formal.
Apa rambu-rambu bagi lembaga-lembaga da’i yang mengelola dana-dana publik seperti itu supaya tidak terjerumus dan melenceng dari asholah dakwah ?
Rambu-rambunya banyak. Nanti kita diskusikan dalam sesi khusus. Tapi salah satunya yang perlu diketahui sekarang adalah; hindarilah menjadi ‘lembaga proyek-an‘ yang hanya sekedar mencairkan proyek tanpa dibarengi dengan kualitas program yang baik bagi masyarakat. Untuk hal ini, berarti dituntut institutional building yang bagus serta capacity building yang baik bagi para pengelola lembaganya.
Bagaiman caranya?
insyaAllah kita akan perdalam di sesi depan.
Wadduh, jadi penasaran. Tapi sekarang saya jadi tersadarkan dalam satu hal: ternyata dalam memasuki mihwar yang baru ini, kita masih punya PR ya?
Ibarat di sekolahan, jika PR diabaikan, bahkan tidak dikerjakan, apa yang akan terjadi?
Biasanya sang murid akan kena hukum dari Gurunya
Lebih parahnya, murid yang mengabaikan, bahkan tidak menyelesaikan PR nya, biasanya murid seperti ini akan terhambat sekolahnya. Ia akan lamban dalam memahami pelajaran-pelajaran. Apalagi dalam menghadapi ujian, ia akan kesulitan menyelesaikan soal-soal ujian tersebut. Alih-alih lulus sekolah bernilai bagus, seringkali murid seperti ini malah tidak naik kelas.
Apatah lagi dengan dakwah. Apa yang terjadi jika PR dakwah diabaikan atau tidak segera diselesaikan? [] ** selesai sesi satu, berlanjut ke sesi dua ***
[1] Lihat taujih “Dua Tuntutan Mihwar Muassasi” oleh Ust. Hilmi Aminuddin, Lc (MDI Al Intima’ ed no. 015/2011)
[2] Untuk memahami lebih dalam tentang mihwar dakwah, silahkan baca “Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera, MPP PKS tahun 2007 (tepatnya dalam BAB 2 tentang PARADIGMA)
[3] NGO (Non Governmental Organization/Organisasi Non Pemerintah) = LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Comments
Post a Comment