Definisi dan Dasar Gadai
Pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum di Indonesia dapat dilakukan dalam bentuk “pand” menurut BW, “boreg” atau “gadai” menurut hukum adat. “Boreg” menurut hukum adat ditujukan kepada pemberian jaminan yang barangnya diserahkan dalam kekuasaan si pemberi kredit.[1]
Hak gadai menurut KUHPerdata diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150 - 1161.[2]
Pihak yang menggadaikan dinamakan “pemberi gadai” dan yang menerima gadai, dinamakan “penerima atau pemegang gadai”. Kadang-kadang dalam gadai terlibat tiga pihak, yaitu debitur (pihak yang berhutang), pemberi gadai, yaitu pihak yang menyerahkan benda gadai dan pemegang gadai yaitu kreditur yang menguasai benda gadai sebagai jaminan piutangnya.[3]
KUHPerdata merumuskan gadai sebagai berikut:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.[4]
Menurut Mariam DarusBadruzaman rumusan gadai di atas belum dapat disimpulkan tentang sifat umum dari gadai. Untuk menemukan sifat-sifat umum gadai, sifat tadi harus dicari lagi di dalam ketentuan-ketentuan lain.
Syarat dan Rukun Gadai
Dalam hubungannya dengan syarat-syarat gadai, ada baiknya bila lebih dahulu dijelaskan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian secara umum yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditegaskan:
Untuk syarat syahnya persetujuan diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu pendekatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.[5]
Syarat pertama dan kedua dari pasal tersebut merupakan syarat subyektif, dimana apabila syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum, artinya sejak semula perjanjian itu batal. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif, dimana jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian vernitigebaar (dapat dibatalkan), artinya perjanjian (overeenkomst), baru dapat dibatalkan jika ada perbuatan hukum (reghthandeling) dari pihak yang mengadakan perjanjian untuk membatalkannya. [6]
Dalam konteksnya dengan gadai (pand), maka hak gadai itu pun diadakan dengan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang berbeda-beda menurut jenis barangnya. Kalau yang digadaikan itu adalah benda bergerak yang berwujud dan surat piutang yang aantoonder(kepada si pembawa) maka syarat-syaratnya:
Harus ada perjanjian untuk memberi hak gadai ini(pandoverenkomst) perjanjian ini bentuknya dalam KUHPerdata tidak disyaratkan apa-apa, oleh karenanya bentuk perjanjian panditu dapat bebas tak terikat oleh suatu bentuk yang tertentu. Artinya perjanjian bisa diadakan secara tertulis ataupun secara lisan saja. Dan yang secara tertulis itu bisa diadakan dengan akte notaris (jadi merupakan akte autentik), bisa juga diadakan dengan akte dibawah tangan saja.
Syarat yang kedua, barangnya yang digadaikan itu harus dilepaskan/berada di luar kekuasaan dari si pemberi gadai(inbezitstelling). Dengan perkataan lain barangnya itu harus berada dalam kekuasaan si pemegang gadai. Bahkan ada ketentuan dalam KUHPerdata bahwa gadai itu tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan si pemberi gadai.[7]
Syarat yang kedua inilah yang dalam praktek sering menimbulkan kesulitan untuk ditepati. Yaitu jika kebetulan barang yang digadaikan itu justru barang yang sangat dibutuhkan oleh si pemberi gadai, misalnya untuk mencari nafkah. Maka akan sangat sulit bagi si pemberi gadai jika barang yang penting untuk mencari nafkah itu justru harus berada di luar kekuasaannya.[8]
Hak dan Kewajiban Gadai
Selama gadai itu berlangsung si pemegang gadai mempunyai beberapa hak:
Si pemegang gadai dalam hal si pemberi gadai (debitur) melakukan wanprestasi, yaitu tidak memenuhi kewajibannya, maka setelah jangka waktu yang telah ditentukan itu lampau, si pemegang gadai berhak untuk menjual benda yang digadaikan itu atas kekuasaan sendiri(eigenmachtigeverkoop) kemudian dari hasil penjualan itu diambil sebagian untuk melunasi hutang debitur dan sisanya dikembalikan kepada debitur. Penjualan barang itu harus dilakukan dimuka umum, menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan berdasarkan atas syarat-syarat yang lazim berlaku.
Si pemegang gadai berhak untuk mendapatkan pengembalian ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan untuk keselamatan barangnya.
Si pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan barang itu (hak retentie); itu terjadi jika setelah adanya perjanjian gadai itu kemudian timbul perjanjian hutang yang kedua antara para pihak dan hutang yang kedua ini sudah dapat ditagih sebelum pembayaran hutang yang pertama, maka dalam keadaan yang demikian itu si pemegang gadai wenang untuk menahan benda itu sampai kedua macam hutang itu dilunasi.[9]
Sebaliknya seorang pemegang gadai memikul kewajiban-kewajiban yang berikut:
Bertanggungjawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadai, sekedar itu telah terjadi karena kelaliannya (Pasal 1157 ayat 1 KUHPerdata).
Kewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai, jika barang gadai dijual (Pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata). Kewajiban memberitahukan itu selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya apabila ada suatu perhubungan pos harian ataupun suatu perhubungan telegrap, atau jika tidak demikian halnya, dengan pos yang berangkat pertama (Pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata). Pemberitahuan dengan telegrap atau dengan surat tercatat, berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156 ayat 3 KUHPerdata).
Bertanggungjawab terhadap hasil penjualan barang gadai (Pasal 1159 ayat 1 KUHPerdata).[10]
Barang yang Dapat Digadaikan
Yang dapat digadaikan ialah semua benda bergerak:
Benda bergerak yang berwujud.
Benda bergerak yang tak berwujud, yaitu yang berupa pelbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutangaantoonder (kepada si pembawa),aan order (atas tunjuk), op naam(atas nama).
Timbul persoalan apakah mengenai piutang yang masih akan ada itu dapat digadaikan? Menurut pendapat yang lazim sekarang gadai mengenai piutang yang masih akan ada itu dimungkinkan, asal hubungan hukum yang menimbulkan piutang sudah ada.[11]
Pendapat yang sama dengan keterangan di atas dikemukakan oleh R. Subekti: yang dapat dijadikan obyek dari pandrecht, ialah segala benda yang bergerak yang bukan kepunyaannya orang yang menghutangkan sendiri. Sebaliknya tidaklah perlu benda itu harus kepunyaan orang yang berhutang, meskipun lazimnya orang yang berhutang itu juga yang memberikan tanggungan, tetapi itu tidak diharuskan.[12]
Gadai dalam KUH Perdata merupakan hak kebendaan yang bersifat sebagai jaminan atas suatu hutang. Hak jaminan atas suatu hutang itu, disamping gadai yang obyeknya benda bergerak, juga dalam KUH Perdata ada hak kebendaan lainnya yang sama-sama sebagai jaminan atas suatu hutang yaitu hipotek. Karena itu antara gadai dan hipotek memiliki persamaan juga perbedaan.
Persamaannyahipotek dan gadai tersebut merupakan hak kebendaan maka juga mempunyai sifat-sifat dari hak kebendaan yaitu: selalu mengikuti bendanya (droit de suite) yang terjadi lebih dahulu didahulukan dalam pemenuhannya (droit de preferenceasas prioriteit) dapat dipindahkan dan lain-lain. Selain itu baik hipotek maupun gadai mempunyai kedudukan preferensi yaitu didahulukan dalam pemenuhannya melebihi kreditur-kreditur lainnya (pasal 1133 KUH Perdata).[13]
Adapun perbedaannya antarapand dan hypotheek dapat diringkaskan sebagai berikut:
a. Pandrecht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan, hypothectidak.
b. Pandrechthapus, jika barang yang dijadikan tanggungan berpindah ketangan orang lain, tetapihypothectetap terletak sebagai beban di atas benda yang dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan kepada orang lain.
c. Perjanjian gadai dapat dibuat secara bebas, tak terikat pada bentuk tertentu, artinya dapat dibuat secara tertulis (dengan akte autentik atau akte di bawah tangan) atau secara lisan saja. Sedang perjanjianhypothecharus dibuat dengan akte autentik.
d. Pada gadai bendanya lazim hanya digadaikan satu kali, sedang padahypothecbenda yang dipakai sebagai jaminan itu dapat di-hypothec-kan lebih dari satu kali (dapat menjadi tanggungan lebih dari satu hutang).
e. Mengenai wewenang untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri, hak yang demikian pada gadai memang sudah diberikan oleh undang-undang, sedang pada hypothec hak yang demikian harus diperjanjikan lebih dahulu.
f. Pada hypothec disyaratkan bahwa orang yang meng-hypothec-kan itu harus mempunyai kekuasaan atas bendanya, sedangkan pada gadai cukup asal orang yang menggadaikan itu cakap bertindak.
g. Pada gadai untuk jaminan adalah barang-barang bergerak, sedang pada hypothecialah pada barang-barang tak bergerak.[14]
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa obyek gadai dalam KUH Perdata hanya meliputi benda bergerak.
Pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum di Indonesia dapat dilakukan dalam bentuk “pand” menurut BW, “boreg” atau “gadai” menurut hukum adat. “Boreg” menurut hukum adat ditujukan kepada pemberian jaminan yang barangnya diserahkan dalam kekuasaan si pemberi kredit.[1]
Hak gadai menurut KUHPerdata diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150 - 1161.[2]
Pihak yang menggadaikan dinamakan “pemberi gadai” dan yang menerima gadai, dinamakan “penerima atau pemegang gadai”. Kadang-kadang dalam gadai terlibat tiga pihak, yaitu debitur (pihak yang berhutang), pemberi gadai, yaitu pihak yang menyerahkan benda gadai dan pemegang gadai yaitu kreditur yang menguasai benda gadai sebagai jaminan piutangnya.[3]
KUHPerdata merumuskan gadai sebagai berikut:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.[4]
Menurut Mariam DarusBadruzaman rumusan gadai di atas belum dapat disimpulkan tentang sifat umum dari gadai. Untuk menemukan sifat-sifat umum gadai, sifat tadi harus dicari lagi di dalam ketentuan-ketentuan lain.
Syarat dan Rukun Gadai
Dalam hubungannya dengan syarat-syarat gadai, ada baiknya bila lebih dahulu dijelaskan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian secara umum yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditegaskan:
Untuk syarat syahnya persetujuan diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu pendekatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.[5]
Syarat pertama dan kedua dari pasal tersebut merupakan syarat subyektif, dimana apabila syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum, artinya sejak semula perjanjian itu batal. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif, dimana jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian vernitigebaar (dapat dibatalkan), artinya perjanjian (overeenkomst), baru dapat dibatalkan jika ada perbuatan hukum (reghthandeling) dari pihak yang mengadakan perjanjian untuk membatalkannya. [6]
Dalam konteksnya dengan gadai (pand), maka hak gadai itu pun diadakan dengan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang berbeda-beda menurut jenis barangnya. Kalau yang digadaikan itu adalah benda bergerak yang berwujud dan surat piutang yang aantoonder(kepada si pembawa) maka syarat-syaratnya:
Harus ada perjanjian untuk memberi hak gadai ini(pandoverenkomst) perjanjian ini bentuknya dalam KUHPerdata tidak disyaratkan apa-apa, oleh karenanya bentuk perjanjian panditu dapat bebas tak terikat oleh suatu bentuk yang tertentu. Artinya perjanjian bisa diadakan secara tertulis ataupun secara lisan saja. Dan yang secara tertulis itu bisa diadakan dengan akte notaris (jadi merupakan akte autentik), bisa juga diadakan dengan akte dibawah tangan saja.
Syarat yang kedua, barangnya yang digadaikan itu harus dilepaskan/berada di luar kekuasaan dari si pemberi gadai(inbezitstelling). Dengan perkataan lain barangnya itu harus berada dalam kekuasaan si pemegang gadai. Bahkan ada ketentuan dalam KUHPerdata bahwa gadai itu tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan si pemberi gadai.[7]
Syarat yang kedua inilah yang dalam praktek sering menimbulkan kesulitan untuk ditepati. Yaitu jika kebetulan barang yang digadaikan itu justru barang yang sangat dibutuhkan oleh si pemberi gadai, misalnya untuk mencari nafkah. Maka akan sangat sulit bagi si pemberi gadai jika barang yang penting untuk mencari nafkah itu justru harus berada di luar kekuasaannya.[8]
Hak dan Kewajiban Gadai
Selama gadai itu berlangsung si pemegang gadai mempunyai beberapa hak:
Si pemegang gadai dalam hal si pemberi gadai (debitur) melakukan wanprestasi, yaitu tidak memenuhi kewajibannya, maka setelah jangka waktu yang telah ditentukan itu lampau, si pemegang gadai berhak untuk menjual benda yang digadaikan itu atas kekuasaan sendiri(eigenmachtigeverkoop) kemudian dari hasil penjualan itu diambil sebagian untuk melunasi hutang debitur dan sisanya dikembalikan kepada debitur. Penjualan barang itu harus dilakukan dimuka umum, menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan berdasarkan atas syarat-syarat yang lazim berlaku.
Si pemegang gadai berhak untuk mendapatkan pengembalian ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan untuk keselamatan barangnya.
Si pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan barang itu (hak retentie); itu terjadi jika setelah adanya perjanjian gadai itu kemudian timbul perjanjian hutang yang kedua antara para pihak dan hutang yang kedua ini sudah dapat ditagih sebelum pembayaran hutang yang pertama, maka dalam keadaan yang demikian itu si pemegang gadai wenang untuk menahan benda itu sampai kedua macam hutang itu dilunasi.[9]
Sebaliknya seorang pemegang gadai memikul kewajiban-kewajiban yang berikut:
Bertanggungjawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadai, sekedar itu telah terjadi karena kelaliannya (Pasal 1157 ayat 1 KUHPerdata).
Kewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai, jika barang gadai dijual (Pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata). Kewajiban memberitahukan itu selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya apabila ada suatu perhubungan pos harian ataupun suatu perhubungan telegrap, atau jika tidak demikian halnya, dengan pos yang berangkat pertama (Pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata). Pemberitahuan dengan telegrap atau dengan surat tercatat, berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156 ayat 3 KUHPerdata).
Bertanggungjawab terhadap hasil penjualan barang gadai (Pasal 1159 ayat 1 KUHPerdata).[10]
Barang yang Dapat Digadaikan
Yang dapat digadaikan ialah semua benda bergerak:
Benda bergerak yang berwujud.
Benda bergerak yang tak berwujud, yaitu yang berupa pelbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutangaantoonder (kepada si pembawa),aan order (atas tunjuk), op naam(atas nama).
Timbul persoalan apakah mengenai piutang yang masih akan ada itu dapat digadaikan? Menurut pendapat yang lazim sekarang gadai mengenai piutang yang masih akan ada itu dimungkinkan, asal hubungan hukum yang menimbulkan piutang sudah ada.[11]
Pendapat yang sama dengan keterangan di atas dikemukakan oleh R. Subekti: yang dapat dijadikan obyek dari pandrecht, ialah segala benda yang bergerak yang bukan kepunyaannya orang yang menghutangkan sendiri. Sebaliknya tidaklah perlu benda itu harus kepunyaan orang yang berhutang, meskipun lazimnya orang yang berhutang itu juga yang memberikan tanggungan, tetapi itu tidak diharuskan.[12]
Gadai dalam KUH Perdata merupakan hak kebendaan yang bersifat sebagai jaminan atas suatu hutang. Hak jaminan atas suatu hutang itu, disamping gadai yang obyeknya benda bergerak, juga dalam KUH Perdata ada hak kebendaan lainnya yang sama-sama sebagai jaminan atas suatu hutang yaitu hipotek. Karena itu antara gadai dan hipotek memiliki persamaan juga perbedaan.
Persamaannyahipotek dan gadai tersebut merupakan hak kebendaan maka juga mempunyai sifat-sifat dari hak kebendaan yaitu: selalu mengikuti bendanya (droit de suite) yang terjadi lebih dahulu didahulukan dalam pemenuhannya (droit de preferenceasas prioriteit) dapat dipindahkan dan lain-lain. Selain itu baik hipotek maupun gadai mempunyai kedudukan preferensi yaitu didahulukan dalam pemenuhannya melebihi kreditur-kreditur lainnya (pasal 1133 KUH Perdata).[13]
Adapun perbedaannya antarapand dan hypotheek dapat diringkaskan sebagai berikut:
a. Pandrecht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan, hypothectidak.
b. Pandrechthapus, jika barang yang dijadikan tanggungan berpindah ketangan orang lain, tetapihypothectetap terletak sebagai beban di atas benda yang dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan kepada orang lain.
c. Perjanjian gadai dapat dibuat secara bebas, tak terikat pada bentuk tertentu, artinya dapat dibuat secara tertulis (dengan akte autentik atau akte di bawah tangan) atau secara lisan saja. Sedang perjanjianhypothecharus dibuat dengan akte autentik.
d. Pada gadai bendanya lazim hanya digadaikan satu kali, sedang padahypothecbenda yang dipakai sebagai jaminan itu dapat di-hypothec-kan lebih dari satu kali (dapat menjadi tanggungan lebih dari satu hutang).
e. Mengenai wewenang untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri, hak yang demikian pada gadai memang sudah diberikan oleh undang-undang, sedang pada hypothec hak yang demikian harus diperjanjikan lebih dahulu.
f. Pada hypothec disyaratkan bahwa orang yang meng-hypothec-kan itu harus mempunyai kekuasaan atas bendanya, sedangkan pada gadai cukup asal orang yang menggadaikan itu cakap bertindak.
g. Pada gadai untuk jaminan adalah barang-barang bergerak, sedang pada hypothecialah pada barang-barang tak bergerak.[14]
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa obyek gadai dalam KUH Perdata hanya meliputi benda bergerak.
Comments
Post a Comment