Suku Bugis
atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia.
Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun, dalam perkembangannya,
saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara. Ugi bukanlah
sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La Satumpugi,
nama seorang raja yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah Provinsi
Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik dan dekat dengan rakyatnya.
Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang berarti Orang Ugi atau Pengikut
Ugi. Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi
dibahasa-Indonesiakan menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu
suku resmi dalam lingkup negara Republik Indonesia.
Kebudayaan
Suku Bugis
Budaya–budaya
Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan
hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe’
(permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan
orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé’ (dalam bahasa Jawa
nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan
menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya
ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus
direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
Suku Bugis
juga kental dengan adat yang khas: adat pernikahan, adat bertamu, adat bangun
rumah, adat bertani, prinsip hidup, dan sebagainya. Meskipun sedikit banyaknya
telah tercampur dengan ajaran Islam. Adat sendiri yang dimiliki Suku Bugis
menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa
hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu
menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.
Umumnya
rumah orang Bugis berbentuk rumah panggung dari kayu berbentuk segi empat
panjang dengan tiang-tiang yang tinggi memikul lantai dan atap. Konstruksi
rumah dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga bisa dipindahkan dari
satu tempat ke tempat lain.
Orang
Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai
ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan
meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan
kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur. Konstruksi
berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah diuraikan
yaitu :
Tingkat
atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah,
yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima
tamu, tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai bawah
diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan kandang ternak. Rumah
tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau
berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku.
SISTEM
RELIGI
Pada
mulanya, agama Suku Bugis adalah animisme yang diwariskan secara turun-temurun.
Masyarakat di sini merupakan pengikut aliran kepercayaan sure galigo, yaitu
sebuah kepercayaan pada dewa tunggal yang sering mereka sebut dengan Patoto E.
Bahkan, sampai saat ini masih ada masyarakat Bugis yang mempercayai aliran ini.
Namun animisme itu terkikis sejak ulama asal Sumatera bernama Datuk Di Tiro
menyebarkan ajaran Islam di Sulawesi Selatan. Islam kemudian menjadi agama
utama Suku Bugis hingga kini. Islam masuk ke daerah Suku Bugis sekitar abad ke
17, melalui para pedagang Melayu. Ajaran Islam yang mudah diterima oleh
masyarakat setempat membuat agama ini menjadi pilihan di antarakeberagaman
agama lainnya. Mereka bisa menerima Islam dengan baik karena menurut mereka
ajaran Islam tidak mengubah nilai-nail, kaidah kemasyarakatan dan budaya yang
telah ada.
Walaupun
demikian, beberapa komunitas Suku Bugis tidak mau meninggalkan animisme. Ketika
Pemerintah Indonesia menawarkan kepada mereka lima agama untuk dianut, mereka
lebih memilih agama Budha atau Hindu yang mereka anggap menyerupai animisme
mereka. Maka jangan heran kalau ada orang Bugis yang menunjukkan KTP-nya
bertuliskan agama Budha atau Hindu.
SISTEM
ORGANISASI KEMASYARAKATAN
Suku Bugis
merupakan suku yang menganut sistem patron klien atau sistem kelompok kesetia
kawanan antara pemimpin dan pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Salah satu
sistem hierarki yang sangat kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai mobilitas
yang sangat tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit berjumpa dengan
manusia Bugis. Mereka terkenal berkarakter keras dansangat menjunjung tinggi
kehormatan, pekerja keras demi kehormatan nama keluarga.
Sedangkan
sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang mengikuti sistem
bilateral atau sistem yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari
pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua sehingga seorang anak
tidak hanya menjadi bagian dari keluarga besar ayah tapi juga menjadi bagian
dari keluarga besar ibu.
Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi dua yaitu siajing mareppe(kerabat dekat) dan siajing mabella (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing mareppe adalah penentu dan pengendali martabat keluarga. Siajing mareppe inilah yang akan menjadi tu masiri’ (orang yang malu) bila ada perempuan anggota keluarga mereka yang ri lariang (dibawa lari oleh orang lain). Mereka punya kewajiban untuk menghapus siri’ atau malu tersebut.
Anggota siajing mareppe didasarkan atas dua jalur, yaitu reppe mereppe atau anggota kekeluargaan berdasarkan hubungan darah dan siteppang mareppe(sompung lolo) atau anggota kekeluargaan berdasarkan hubungan perkawinan.
SISTEM
PENCAHARIAN
Wilayah
Suku Bugis terletak di dataran rendah dan pesisir pulau Sulawesibagian selatan.
Di dataran ini, mempunyai tanah yang cukup subur, sehingga banyak masyarakat
Bugis yang hidup sebagai petani. Selain sebagai petani, SukuBugis juga di kenal
sebagai masyarakat nelayan dan pedagang. Meskipun mereka mempunyai tanah yang
subur dan cocok untuk bercocok tanam, namun sebagian besar masyarakat mereka
adalah pelaut. Suku Bugis mencari kehidupan dan mempertahankan hidup dari laut.Tidak sedikit masyarakat Bugis yang merantau sampai
ke seluruh negeri dengan menggunakan Perahu Pinisi-nya. Bahkan, kepiawaian suku
Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas hingga luar negeri, di antara
wilayah perantauan mereka, seperti Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand,
Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Suku Bugis memang terkenal sebagai
suku yang hidup merantau. Beberapa dari mereka, lebih suka berkeliaran untuk
berdagang dan mencoba melangsungkan hidup di tanah orang lain. Hal ini juga
disebabkan oleh faktor sejarah orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
SISTEM
TEKNOLOGI DAN PERALATAN
Dengan
terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda, maka secaraperlahan tapi pasti,
tatanan kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok,kemudian membentuk sebuah
masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup
tersebut. Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagaihasil manusia dalam
mencipta. Dengan bahasa umum, hasil ciptaan yang berupaperalatan fisik disebut
teknologi dan proses penciptaannya dikatakan ilmupengetahuan dibidang teknik.Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi Selatan
terkenal sebagai pelautyang ulung. Mereka sangat piawai dalam mengarungi lautan
dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara dengan menggunakan
perahu Pinisi.
Perahu
Pinisi
Perahu Pinisi
termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugisyang
sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalamnaskah
Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad
ke-14M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat
olehSawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat
perahutersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal
sangatkokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih
dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia
pindah ke pohon lainnya. Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba
masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi.
Sepeda
dan Bendi
Sepeda
ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional ini adalahbukti sejarah
peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnyamasyarakat
Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutamatanaman padi sebagai
bahan makanan pokok.
Koleksi
peralatan menempa besi dan hasilnya
Jika anda
ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masalampau
masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melaluikoleksi
trdisional menempa besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis senjatatajam, baik
untuk penggunan sehari – hari maupun untuk perlengkapan upacaraadat.
Koleksi
Peralatan Tenun Tradisional
Dari
koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui bahwabudaya menenun di
Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah,yakni ditemukan
berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerahseperti leang –
leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari
kulit kayu dan serat – serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada
zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat
pemintal tenun dengan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta
berbagai jenis corak kain saung dan pakaian tradisional.
BAHASA
DAN LITERATUR
Dalam
kesehariannya hingga saat ini orang bugis masih menggunakan bahasa “Ugi” yang
merupakan bahasa keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Selain itu,
orang Bugis juga memilikis aksara sendiri yakni aksara lontara yang berasal
dari huruf Sansekerta. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap
wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus. Bahasa, yang dimiliki Suku Bugis
menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa
hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu
menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.
KESENIAN
Alat
musik
·
Kacapi (kecapi) Salah satu alat musik
petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya sukuBugis, Bugis Makassar dan
Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang
pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil
karena penemuannya dari tali layar perahu.
·
Sinrili, Alat musik yang mernyerupai
biola tetapi biola di mainkan dengan membaringkan di pundak sedangkan Singrili
di mainkan dalam keedaanpemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan
pemainnya.
·
Gendang Musik , perkusi yang mempunyai
dua bentuk dasar yakni bulat panjang danbundarseperti rebana.
·
SulingSuling bambu/buluh, terdiri dari
tiga jenis, yaitu:
·
Suling panjang (suling lampe), memiliki
5 lubang nada. Suling jenis ini telahpunah
·
Suling calabai (Suling ponco),sering
dipadukan dengan piola (biola) kecapidan dimainkan bersama penyanyi
·
Suling dupa samping (musik bambu), musik
bambu masih terplihara didaerahKecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara
karnaval (barisberbaris) atau acara penjemputan tamu.
Seni
Tari
·
Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina
atau biasa disebut tari meminta hujan.
·
Tari Paduppa Bosara; tarian yang
mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan
bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
·
Tari Pattennung; tarian adat yang
menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain.
Melambangkan kesabaran danketekunan perempuan-perempuan Bugis.
·
Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari;
tarian ini dilakukan oleh calabai(waria), namun jenis tarian ini sulit sekali
ditemukan bahkan dikategorikan telahpunah.
·
Jenis tarian yang lain adalah tari
Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan Tari Pabbatte (biasanya di gelar
padasaat Pesta Panen)
Comments
Post a Comment