Oleh: Ustadz Dr. Saiful Bahri, M.A
Persepsi Malu
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹
© Sahabat Uqbah bin Amr meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara yang diketahui manusia dari perkataan kenabian pertama adalah “Jika Engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” (HR. Al-Bukhâri)
▪Dalam kesempatan lain rasa malu dipersepsikan sebagai salah satu indikator keimanan seseorang. Malu yang dimaksud adalah rasa malu pada Allah. Malu, ketika diberi Allah banyak karunia tetapi tak mampu bersyukur. Malu, karena banyak melakukan kesalahan yang tidak perlu. Malu, karena membalas kebaikan Allah dengan kemaksiatan. Itulah hakikat malu. Sama seperti ungkapan Allah tentang keburukan atau kejahatan yang pelakunya disebut al-Quran dengan “al-mujrimûn”. Yaitu, tak sekedar dilihat dari pelaku atau perilaku buruknya, namun lebih dilihat kepada siapa yang ia durhakai, mengapa ia durhakai Dzat yang maha memberi segala, yang mengasihi tanpa pilih, yang menyayangi tanpa membedakan.
© Seriring dengan perkembangan persepsi kebaikan dan kemuliaan manusia yang dikepung dengan pola hidup matrealistik dan hedonisme maka pemahaman tentang malu juga bergeser. Maka persepsi malu ini kemudian dialamatkan kepada sesama manusia. Seseorang akan malu kalau keburukannya terungkap dan diketahui orang lain. Sehingga ia akan berusaha menyembunyikan, ini pun sebenarnya masih lumayan ketika ia sadar dan kemudian bertaubat.
▪Kemudian, rasa malu ini makin bergeser, menjadi kepada sebagian orang dan kemudian hanya kepada sedikit orang, hingga akhirnya menghilang sama sekali. Itulah yang disebutkan di dalam hadist di atas. Karena jika rasa malu hilang dari seseorang maka dikhawatirkan ia akan kehilangan iman dan bahkan ruh dan spirit kehidupannya.
© Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah menyebut asal kata rasa malu (al-hayâ’) adalah kehidupan (al-hayâh). Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian qalbu dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali qalbunya hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna. Kesempurnaan ini akan mengantarkannya menjadi sempurna. Dan orang yang paling pemalu adalah para Nabi. Abu Said al-Khudry menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memiliki rasa malu melebihi rasa malunya seorang gadis pingitan. (HR. Al-Bukhâri, no. 6119).
▪Dengarkan kalam Allah yang menjelaskan rasa malu beliau, “…tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar." (QS. Al-Ahzâb : 53)
© Allah mencintai orang yang pemalu, malaikat pun memiliki rasa malu. Karena itulah rasa malu ini adalah warisan kenabian, bahkan terwasuk di antara yang pertama diwariskan. Rasulullah SAW membahasakannya dengan “min kalâmi an-nubuwwah al-‘ûla” (Diantara perkataan dari kenabian yang pertama). Para ulama memaknai hadist di atas dengan tiga hal:
1. Ancaman, agar seseorang terus memiliki rasa malu yang benar. Artinya berbuatlah sesukamu ini redaksi yang keras dalam melarang dan bukan menyuruh demikian. Senada dengan firman Allah “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fushilat :40)
2. Menjelaskan konsekuensi. Artinya jika seseorang tidak memiliki atau kehilangan rasa malu maka ia akan melakukan apa saja, termasuk keburukan dan kekejian yang besar sekali pun.
3. Sebagai syarat pembolehan. Artinya ketika seseorang hendak melakukan sesuatu, standarnya adalah malu kepada Allah terlebih dahulu kemudian manusia. Jika yang dilakukan tidak memalukan Allah dan manusia, maka lakukanlah, karena yang demikian adalah kebaikan yang diterima Allah dan manusia.
▪Ketiga makna di atas memungkinkan untuk digabungkan, meskipun pendapat jumhur ulama secara mainstream lebih condong kepada makna yang pertama.
© Rasa malu selalu datangkan kebaikan, namun penempatannya juga mesti sesuai dengan anjuran Rasulullah. Yaitu menempatkannya sebagai rem dan kontrol diri untuk mencegah perbuatan yang buruk dan dimurkai Allah terlebih dahulu, dan kemudian di mata manusia.
▪Tetapi beliau melarang menempatkan rasa malu dalam menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, perempuan-perempuan Anshar pernah Aisyah puji karena “berani” bertanya beberapa hal yang terkesan tabu dan aib, padahal hal tersebut sesungguhnya adalah pengetahuan yang harus diketahui banyak perempuan. Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama. Imam Mujahid pernah menyebutkan, “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu." (Ditururkan Al-Bukhâriy dalam Shahîhnya, kitab al-‘Ilmu Bab al-Hayâ’ fil ‘Ilmi)
© Malu adalah motivasi kebaikan dan rem keburukan. Jika ia hilang maka hilanglah keselamatan seseorang. Ia tak malu lagi jika tak melakukan kebaikan (yang wajib, sunnah atau anjuran biasa), dan ia tak malu lagi dalam melakukan keburukan. Jika keburukan sudah dipertontonkan dan dilakukan dengan terang-terangan itu maknanya terjadi kematian sosial dan qalbu masyarakatnya.
▪Ada saudara-saudara kita yang perlu dukungan kemerdekaan dari penjajahan, bangsa Palestina yang berusaha meraih kedaulatan negerinya. Rasa malu lah yang menyebabkan seseorang akan memberikan dukungannya. Jika ia tak malu, mungkin sama sekali ia pun takkan mendukungnya. Jika ia melihat kemungkaran, ia pun akan malu jika mendiamkannya.
© Sebaliknya, keburukan akan datang bila orang tak malu lagi ketika hal-hal baik ditinggalkan dan hal-hal buruk dipertontonkan.
Comments
Post a Comment