Pidato Presiden Soekarno ini dikumandangkan pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-14 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959. Suasana kebatinan saat itu diselimuti oleh suasana suka cita bagi pendukung Demokrasi Terpimpin dan duka cita bagi pendukung Demokrasi Konstitusional atau Parlementer. Hal ini oleh Presiden Soekarno dianggap sebagai satu penemuan kembali jalan revolusi Indonesia, yang sesuai dengan judul pidatonya “Penemuan Kembali Revolusi Kita” atau “Rediscovery Our Revolution”.
Hal ini dilatarbelakangi oleh dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya antara lain:
1. Menetapkan pembubaran konstituante
2. Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara.
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas Anggota-amggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dengan dikeluarkannya dekrit tersebut, maka berakhirlah sistem pemerintahan Konstitusional atau Parlementer yang secara resmi telah dimulai sejak 1950. Oleh Soekarno, sistem demokrasi parlementer dianggapnya adalah barang liberal yang harus dihilangkan dari Indonesia. Juga Konstituante, yang nyata-nyata gagal menjadi “penyelamat revolusi”. Ia menyatakan:
“Sistem liberalisme harus kita buang jauh-jauh, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin harus kita tempatkan sebagai gantinya. Susunan peralatan yang ternyata tak efisien harus kita ganti dengan susunan peralatan yang baru”
“Bagaimana dengan penyelewengan kita? Kita sangat bersyukur kepada Tuhan, bahwa penyelewengan kita itu belum sampai menjelma menjadi satu dekadensi. Tepat pada waktunya, kita terperanjat sadar, dan kita mengadakan koreksi. Tepat pada waktunya, kita menjalankan think and re-think dan kita melihat penyelewengan itu dan kita bongkar penyelewengan itu dan kita banting stir ke jalan yang benar. Tepat pada waktunya, rakyat jelata memukul canang. Tepat pada waktunya, si Marhaen dan si Sarinah, si Dadap dan si Waru, berteriak: “Hai Pemimpin! Engkau nyeleweng! Engkau nyeleweng!”
Presiden Soekarno menganggap demokrasi parlementer sebagai suatu liberalisme. Ia menuding pemimpin-pemimpin politik saat itu telah melakukan tindakan penyelewengan. Bahwa sistem yang telah dijalankan tersebut menyeleweng dari tujuan seperti cita-cita 17 Agustus 1945.
Beliau juga menyampaikan suatu modal nasional, sebagai langkah awal memulai perjuangan, yaitu:
“...yang dapat kita pakai sebagai bahan dan alat perjuangan. Apa yang kini kita miliki? Pertama, Undang-undang Dasar 1945 dan Jiwa Revolusi 1945. Jiwa ini tidak lahir begitu saja dengan Dekrit 5 Juli, tetapi harus kita pupuk-pupuk terus... . Kedua, hasil dari segala pikiran rakyat dan keringat rakyat sejak 1945 hingga sekarang yang berupa hasil-hasil materiil maupun yang berupa tenaga-tenaga baru... . Ketiga, makin bertumbuhnya kekuatan ekonomi yang menjadi milik nasional atau di bawah pengawasan nasional yang pada ini waktu, suda meliputi kurang lebih 70 persen daripada seluruh kekuatan yang berada di Indonesia. Keempat, Angkatan Perang yang makin lama makin kuat, administrasi pemerintahan yang makin lama makin baik. Kelima, wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang kompak unitaristis dan amat luas, dan yang letaknya strategis dalam politik dan ekonomi dunia serta jumlah penduduk yang kini sudag 88 juta... . Keenam, kepercayaan kepada kemampuan dan keuletan bangsa sendiri... . Ketujuh, kekayaan alam... yang tidak ada tandingannya...
Hal pada poin nomor lima, membuat Presiden kembali mengobarkan semangat pembebasan Irian Barat. Presiden kembali menegaskan bahwa perjuangan memerdekaan Irian Barat adalah perjuangan yang tidak main-main dan tak mengenal kompromis.
Perjuangan membebaskan Irian Barat, semakin membuat Presiden Soekarno bangga dengan perjuangan sata revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan dulu. Ia berujar:
“Achievment kita yang terbesar dalam revolusi kita ini adalah bahwa kita tetap survive, tetap berdiri, tetap hidup. Pukulan-pukulan apapun yang jatuh di tubuh kita di masa yang lampau, kita toh tetap berdiri, kita toh tetap hidup, kita toh tetap survive... “
Selain itu, dalam memperjuangkan kembali Jiwa Revolusi tersebut, Presiden Soekarno turut mengistruksikan –selain pembenahan alat-alat perjuangan (retool) juga adalah koordinasi politik. Ia menganggap, bahwa tidak boleh ada lagi rakyat yang ditunggangi pemimpin, tetapi sebaliknya bahwa demokrasi harus menjadi alat yang dijadikan alat oleh rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur, yang kemudian ditandaskan kembali oleh Soekarno berupa titik berat Demokrasi Terpimpin dalam mencapai semua itu, yakni: bahwa dalam Demokrasi Terpimpin tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, kepada masyarakat, kepada bangsa, dan negara. Serta bahwa Demokrasi Terpimpin menyatakan bahwa tiap-tiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang layak.
Berkaitan dengan kehidupan yang layak, maka kemudian akan menyinggung soal masalah ekonomi. Di sini, Soekarno menyuarakan bahwa segala kekayaan yang vital dikuasai oleh negara. Ia menandaskan mengenai penentangannya terhadap imperialisme Belanda, yang pada masa penjajahannya banyak menjadikan Indonesia tak berdaulat atas kekayaannya.
Berkaitan dengan imperialisme tersebut, Soekarno juga menegaskan bahwa imperialisme kebudayaan harus dilawan selain tetap harus melawan imperialisme politik dan ekonomi. Yang dimaksud Soekarno adalah mereka yang senang menikmati musik-musik dan tulisan-tulisan dari luar yang menurutnya sebagai imperialisme kebudayaan. Ia berujar dalam pidatonya:
“...kenapa di kalangan engkau tidak banyak yang menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock and roll rock and rool-an, dansi-dansi-an ala cha cha cha, musik-musikan ala ngak ngik ngek gila-gilaan dan lain-lain sebagiannya lagi. Kenapa di kalangan engkau banyak yang gemar membaca tulisan-tulisan dari luaran, yang nyata itu adalah imperialisme kebudayaan. Pemerintah akan mlindungi kebudayaan nasional dan membantu berkembangnya kebudayaan nasional ... “
Presiden semakin menegaskan tentang tantangan revolusi yang kompleks. Bahwa revolusi ini oleh Soekarno disebut sebagai revolusi yang datang sekaligus secara memborong. Revolusi yang demikian ini, masih menurut Soekarno, tidak bisa diselesaikan secara konvensional sehingga harus diselesaikan dengan cara Indonesia sendiri, yaitu sistem Demokrasi Terpimpin. Segala penyelewengan, segala, segala salah langkah, dari masa setelah 1950, menurut Soekarno adalah dikoreksi dengan terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Soekarno menandaskan bahwa revolusi tidak hanya meminta keringat dari segenap rakyat dan pemimpin Indonesia, tapi juga harus memunculkan pemikiran-pemikiran baru, konsepsi-konsepsi baru. Ia mengatakan, bangsa yang demikian akan menjadi bangsa yang besar, bangsa yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia.
Comments
Post a Comment