Ustadz Farid Nu'man Hasan, S.S.
Ada yang mengatakan liqo-liqo bukanlah metode Rasulullah _Shallallahu 'Alaihi wa Sallam_
Ini merupakan salah berpikir tingkat berat. Sebab, liqo itu bukan ibadah ritual yang sifatnya tauqifi, yang aturan bakunya harus sama persis Nabi _Shallallahu 'Alaihi wa Sallam_ dan berasal darinya.
Liqo hanyalah metode pendidikan dan pembinaan, yang kompromis dengan situasi dan zaman.
Sehingga, masalah ini bukan pada tempatnya menanyakan _"adakah dalil liqo?"_
Tapi masalah ini lebih pada kaidah _"adakah larangannya?"_ Sebab, masalah metodologi adalah masalah duniawi yang fleksibel dan bisa dikembangkan, selama tidak ada pelanggaran khusus terhadap syariat
Masalah-masalah teknis di mana syariat tidak membahas secara khusus, adalah zona _ma'fu 'anhu_ (dimaafkan), sebagai rahmat Allah Ta'ala kepada hambanya.
Imam Muhammad At Tamimi _Rahimahullah_ menjelaskan:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” *(Imam Muhammad At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)*
Imam Ibnul Qayyim _Rahimahullah_ mengatakan:
وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال
Dia – _Subhanahu wa Ta’ala_- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatilkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya. *(I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)*
Sungguh mengherankan orang yang tidak memahami ini. Selalu mencari kesalahan saudara sesama muslimnya. Masih bagus jika itu memang benar-benar salah, tapi ini lebih pada asumsi dan halusinasinya sendiri.
Imam Muhammad bin Sirin _Rahimahullah_ berkata:
إنَّ أكثر الناس خطايا أكثرهم ذكرًا لخطايا الناس
_Sesungguhnya manusia paling banyak kesalahannya adalah manusia yang banyak menyebut kesalahan orang lain._ *(Ibnu Abi Dunya, Ash Shamtu wa Adabul Lisan, Hal. 104)*
Kemudian, bukan hanya itu, perjenjangan dalam Liqo juga disalahkannya. Benarkah itu kesalahan?
Imam Al Bukhari membuat bab:
بَاب مَنْ خَصَّ بِالْعِلْمِ قَوْمًا دُونَ قَوْمٍ كَرَاهِيَةَ أَنْ لَا يَفْهَمُوا
“Bab manusia yang mengkhususkan ilmu kepada sebuah kaum tapi tidak pada kaum lainnya khawatir mereka tidak memahaminya.” *(Shahih Al Bukhari, Kitabul ‘Ilmi)*
Dalam Bab ini, terdapat dialog antara Nabi _Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam_ dengan Mu’adz bin Jabal _Radhiallahu ‘Anhu._ Beliau bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوا قَالَ إِذًا يَتَّكِلُوا وَأَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا
Tidaklah seseorang yang bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah secara tulus dari hatinya, melainkan Allah akan haramkan neraka baginya. Muadz berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya boleh sebarkan kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau bersabda: “Jangan! Sebab nanti mereka akan bergantung saja pada hal itu.” Muadz baru mengabarkannya sebelum kematiannya sebab khawatir dia berdosa jika tidak menyebarkannya. *(HR. Bukhari No. 128)*
Dalam kitab yang sama, Imam Al Bukhari terdapat *_Bab Al ‘Ilmu Qabla Al Qaul wal ‘Amal_,* di sana terdapat keterangan ttg makna ayat Kuunuu _Rabbaniyuun_ - jadilah kalian orang-orang yang Rabbani. (QS. Ali Imran: 79) menurut Abdullah bin Abbas _Radhiallahu ‘Anhuma_ sebagai berikut:
{ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ }
حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
(Jadilah kalian kaum yang Rabbani) yakni orang yang sabar dan berilmu, ada juga yang mengatakan: yaitu orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar. *(Lihat Shahih Bukhari, Kitabul ‘Ilmi)*
Maksud dari “mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar” adalah _bi at tadriij_ – dengan bertahap. *(Fathul Bari, 1/121)*
Imam Al ‘Aini mengatakan:
أي الذي يربي الناس بجزئيات العلم قبل كلياته أو بفروعه قبل أصوله أو بمقدماته قبل مقاصده
Yaitu orang yang mendidik manusia dengan bagian-bagian dari ilmu sebelum total keseluruhannya, atau mengajarkan yang cabang-cabang sebelum yang pokoknya, atau mengajarkan pengantarnya sebelum isi utamanya. *(‘Umadatul Qari, 2/487)*
Imam Al Munawi mengatakan tentang makna Tarbiyah:
التربية إنشاء الشيء حالا فحالا إلى حد التمام
Tarbiyah adalah mengembangkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan berikutnya sampai batas sempurna. *(At Ta’aariif, Hal. 169. Darul Fikr)*
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajid _Hafizhahullah_ bercerita tentang Syaikh Muhammad bin Ibrahim _Rahimahullah_ – mantan Mufti Kerajaan Arab Saudi, dan guru dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz:
_"Beliau Rahimahullah memiliki tiga majelis, mengajar tiga mustawayat (tingkatan), untuk penuntut ilmu yang sudah lama satu pelajaran, untuk yang pertengahan satu pelajaran, dan untuk penuntut ilmu yang pemula juga satu pelajaran, dan jika beliau melihat ada seorang penuntut ilmu yang baru lalu duduk di majlis penuntut ilmu yang lama, maka beliau akan mengusirnya dan membentaknya, seraya berkata: "Di sini bukan tempatmu, bukan dari sini kamu memulai, dan perkara ini bisa melahirkan rasa ujub (bagimu). "_ *(Majmu'ah Muhammad Al Munajjid, Mawaaqif Tarbawiyah Muattsirah min Siyar Al Ulama, 33/29)*
Maka, begitu jelas bahwa marhalah dalam liqo tarbawi (membina), mengajak, dan memperbaiki manusia adalah masyru’, serta benar menurut akal dan budaya manusia dan kehidupan.
Alangkah mengherankan jika pentahapan dalam membina dan mendidik manusia dalam sebuah wadah organisasi da’wah, dunia pendidikan, dan lainnya, disebut sebagai penyimpangan.. _Laa hawlaa wa laa quwwata illa billah._
Wallahul Musta'an
Sebarkan! Raih pahala
=====================
Ada yang mengatakan liqo-liqo bukanlah metode Rasulullah _Shallallahu 'Alaihi wa Sallam_
Ini merupakan salah berpikir tingkat berat. Sebab, liqo itu bukan ibadah ritual yang sifatnya tauqifi, yang aturan bakunya harus sama persis Nabi _Shallallahu 'Alaihi wa Sallam_ dan berasal darinya.
Liqo hanyalah metode pendidikan dan pembinaan, yang kompromis dengan situasi dan zaman.
Sehingga, masalah ini bukan pada tempatnya menanyakan _"adakah dalil liqo?"_
Tapi masalah ini lebih pada kaidah _"adakah larangannya?"_ Sebab, masalah metodologi adalah masalah duniawi yang fleksibel dan bisa dikembangkan, selama tidak ada pelanggaran khusus terhadap syariat
Masalah-masalah teknis di mana syariat tidak membahas secara khusus, adalah zona _ma'fu 'anhu_ (dimaafkan), sebagai rahmat Allah Ta'ala kepada hambanya.
Imam Muhammad At Tamimi _Rahimahullah_ menjelaskan:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” *(Imam Muhammad At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)*
Imam Ibnul Qayyim _Rahimahullah_ mengatakan:
وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال
Dia – _Subhanahu wa Ta’ala_- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatilkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya. *(I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)*
Sungguh mengherankan orang yang tidak memahami ini. Selalu mencari kesalahan saudara sesama muslimnya. Masih bagus jika itu memang benar-benar salah, tapi ini lebih pada asumsi dan halusinasinya sendiri.
Imam Muhammad bin Sirin _Rahimahullah_ berkata:
إنَّ أكثر الناس خطايا أكثرهم ذكرًا لخطايا الناس
_Sesungguhnya manusia paling banyak kesalahannya adalah manusia yang banyak menyebut kesalahan orang lain._ *(Ibnu Abi Dunya, Ash Shamtu wa Adabul Lisan, Hal. 104)*
Kemudian, bukan hanya itu, perjenjangan dalam Liqo juga disalahkannya. Benarkah itu kesalahan?
Imam Al Bukhari membuat bab:
بَاب مَنْ خَصَّ بِالْعِلْمِ قَوْمًا دُونَ قَوْمٍ كَرَاهِيَةَ أَنْ لَا يَفْهَمُوا
“Bab manusia yang mengkhususkan ilmu kepada sebuah kaum tapi tidak pada kaum lainnya khawatir mereka tidak memahaminya.” *(Shahih Al Bukhari, Kitabul ‘Ilmi)*
Dalam Bab ini, terdapat dialog antara Nabi _Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam_ dengan Mu’adz bin Jabal _Radhiallahu ‘Anhu._ Beliau bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوا قَالَ إِذًا يَتَّكِلُوا وَأَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا
Tidaklah seseorang yang bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah secara tulus dari hatinya, melainkan Allah akan haramkan neraka baginya. Muadz berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya boleh sebarkan kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau bersabda: “Jangan! Sebab nanti mereka akan bergantung saja pada hal itu.” Muadz baru mengabarkannya sebelum kematiannya sebab khawatir dia berdosa jika tidak menyebarkannya. *(HR. Bukhari No. 128)*
Dalam kitab yang sama, Imam Al Bukhari terdapat *_Bab Al ‘Ilmu Qabla Al Qaul wal ‘Amal_,* di sana terdapat keterangan ttg makna ayat Kuunuu _Rabbaniyuun_ - jadilah kalian orang-orang yang Rabbani. (QS. Ali Imran: 79) menurut Abdullah bin Abbas _Radhiallahu ‘Anhuma_ sebagai berikut:
{ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ }
حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
(Jadilah kalian kaum yang Rabbani) yakni orang yang sabar dan berilmu, ada juga yang mengatakan: yaitu orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar. *(Lihat Shahih Bukhari, Kitabul ‘Ilmi)*
Maksud dari “mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar” adalah _bi at tadriij_ – dengan bertahap. *(Fathul Bari, 1/121)*
Imam Al ‘Aini mengatakan:
أي الذي يربي الناس بجزئيات العلم قبل كلياته أو بفروعه قبل أصوله أو بمقدماته قبل مقاصده
Yaitu orang yang mendidik manusia dengan bagian-bagian dari ilmu sebelum total keseluruhannya, atau mengajarkan yang cabang-cabang sebelum yang pokoknya, atau mengajarkan pengantarnya sebelum isi utamanya. *(‘Umadatul Qari, 2/487)*
Imam Al Munawi mengatakan tentang makna Tarbiyah:
التربية إنشاء الشيء حالا فحالا إلى حد التمام
Tarbiyah adalah mengembangkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan berikutnya sampai batas sempurna. *(At Ta’aariif, Hal. 169. Darul Fikr)*
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajid _Hafizhahullah_ bercerita tentang Syaikh Muhammad bin Ibrahim _Rahimahullah_ – mantan Mufti Kerajaan Arab Saudi, dan guru dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz:
_"Beliau Rahimahullah memiliki tiga majelis, mengajar tiga mustawayat (tingkatan), untuk penuntut ilmu yang sudah lama satu pelajaran, untuk yang pertengahan satu pelajaran, dan untuk penuntut ilmu yang pemula juga satu pelajaran, dan jika beliau melihat ada seorang penuntut ilmu yang baru lalu duduk di majlis penuntut ilmu yang lama, maka beliau akan mengusirnya dan membentaknya, seraya berkata: "Di sini bukan tempatmu, bukan dari sini kamu memulai, dan perkara ini bisa melahirkan rasa ujub (bagimu). "_ *(Majmu'ah Muhammad Al Munajjid, Mawaaqif Tarbawiyah Muattsirah min Siyar Al Ulama, 33/29)*
Maka, begitu jelas bahwa marhalah dalam liqo tarbawi (membina), mengajak, dan memperbaiki manusia adalah masyru’, serta benar menurut akal dan budaya manusia dan kehidupan.
Alangkah mengherankan jika pentahapan dalam membina dan mendidik manusia dalam sebuah wadah organisasi da’wah, dunia pendidikan, dan lainnya, disebut sebagai penyimpangan.. _Laa hawlaa wa laa quwwata illa billah._
Wallahul Musta'an
Sebarkan! Raih pahala
=====================
Comments
Post a Comment