Dalam perjalanan hidup, kita sering terlalu sibuk melihat apa yang kurang dari hidup ini, apa yang menyakitkan, apa yang tidak berjalan sesuai harapan. Kita mudah mengingat kesalahan orang lain, tetapi begitu sulit mengakui kesalahan diri sendiri. Kita cepat mengingat luka yang ditinggalkan orang lain, namun pelan dalam mengingat kebaikan yang mereka pernah lakukan.
Padahal, ketenangan jiwa sering tumbuh dari satu sikap sederhana:
bersedia mengingat kesalahan kita, dan bersedia mengingat kebaikannya.
1. Mengingat Kesalahan Kita Bukan Untuk Menyalahkan Diri, Tapi Untuk Menjadi Lebih Baik
Mengingat kesalahan bukan berarti menanam rasa rendah diri.
Bukan pula mengikat diri pada masa lalu.
Mengingat kesalahan adalah cara untuk berkata kepada diri sendiri:
“Aku dulu begitu, tapi aku tidak ingin begitu lagi.”
Itu adalah pintu menuju kedewasaan—mengakui bahwa kita pernah kurang sabar, pernah berkata terlalu keras, pernah mengabaikan, pernah tidak menghargai, pernah menuntut tanpa memahami. Ketika kita berani melihat diri sendiri, kita menjadi manusia yang lebih lembut, lebih rendah hati, dan lebih bijaksana.
2. Mengingat Kebaikannya Agar Kita Tidak Menutup Mata oleh Rasa Sakit
Terluka itu wajar.
Merasa kecewa itu manusiawi.
Tetapi jangan biarkan luka membuat kita lupa bahwa seseorang pernah berusaha mencintai kita dengan caranya, pernah membantu kala kita tidak sanggup sendiri, pernah menguatkan ketika dunia terasa runtuh.
Mengingat kebaikan bukan berarti membenarkan kesalahan mereka.
Namun itu membantu hati tetap jernih, tidak dibutakan oleh emosi, tidak diracuni oleh dendam.
Ketika kita ingat kebaikannya, kita memilih untuk tetap adil—bahkan ketika hati ingin marah. Itu bukan kelemahan, tetapi tanda kedewasaan.
3. Dua Ingatan Ini Membentuk Jiwa yang Lapang
Jika kita hanya mengingat kesalahan orang lain, hati kita penuh beban.
Jika kita hanya mengingat kebaikan diri sendiri, jiwa kita penuh keangkuhan.
Maka keseimbangannya adalah:
ingat kesalahan diri untuk memperbaiki,
ingat kebaikan orang lain untuk bersyukur.
Dalam dua ingatan inilah hati menjadi lapang. Kita lebih mudah memaafkan, lebih mudah berdamai, dan lebih mudah melangkah.
4. Hidup Adalah Tentang Belajar Menerima
Tidak semua yang salah tak bisa diperbaiki.
Tidak semua yang patah tak bisa kembali utuh.
Namun kita bisa menerima, merawat, dan membawa hikmahnya.
Kita bisa memilih untuk tumbuh, bukan tenggelam.
Kita bisa memilih menjadi lebih bijak, bukan lebih pahit.
Di ujung setiap renungan, selalu ada satu bisikan:
"Perbaiki dirimu, dan hargailah kebaikan orang lain. Di situlah letak ketenanganmu.”